Petualangan kali ini juga tidak terbayangkan olehku sebelumnya. Tiba-tiba seorang temenku menawarkan pekerjaan untuk menggantikan dia sebagai Assistant Tour Leader (ATL) nya Level 6, yang akan membawa rombongan anak SMA 107-Cakung, kelas XII. Ternyata rutenya adalah Ambarawa-Jogja, geez! Padahal baru beberapa hari yang lalu aku nulis status di FB klo pengen pulang kampung J. Singkat cerita akhirnya aku berangkat pada tanggal 26 Maret 2011. Perjalanan dimulai dengan menjemput adik-adik dulu di sekolah mereka dan segera meluncur ke Ambarawa via Jalur PANTURA (Pantai Utara). Pagi harinya kami beristirahat di Mesjid Agung Semarang, sangking ngantuknya aku sampe ketiduran di trotoar (yang berumput) dan kebangun gara-gara digigitin semut, susah emang jadi orang manis (^_^). Ketika melintasi jalan menuju Ambarawa, aku melihat sebuah pohon yang dipenuhi oleh burung bangau. Keren banget! Ada yang sedang membuat sarang, ada juga yang beterbangan. Ya memang karena kota Semarang sangat dekat dengan laut, tempat dimana burung bangau mencari makan.
Ketika sampai di Ambarawa, aku jadi kangen rumah si Mbahku tapi karena saat itu sedang mengemban tugas :p jadi nggak sempet deh main kesana. Kami melanjutkan perjalanan menuju Banyu Biru. Kami harus menggunakan mobil pick-up karena bis kami tidak dapat masuk ke dalam, maklum jalan yang akan kami tempuh itu ternyata luaaaarr biasa. Jalan berkelok-kelok dengan tanjakan yang curam membuat kami serasa naik roller coaster J. Tapi di kiri kanan jalan pemandangan yang mempesona disajikan untuk kita. Hamparan sawah dan bukit yang mengelilingi kawasan itu serta nampak Rawa Pening dari kejauhan, membuatku kerasan alias betah, hehe. Begitu sampai di desa Wirogomo kami disambut oleh warga sekitar yang sangat ramah J. Mereka mengantarkan kami ke rumah-rumah yang telah dipersiapkan untuk kami tinggali selama 2 hari 1 malam itu.
Setelah beristirahat kami segera memulai aktifitas disana, dimulai dari berkenalan dengan si empunya rumah. Mereka ramah sekali bahkan tersirat kepolosannya. Si bapak bekerja sebagai pembuat minyak cengkeh dan anak lelakinya membantu dia sehari-heri, nah kalau si ibu (istri bapak yang punya rumah) sangat pemalu sekali. Ternyata ini disebabkan karena beliau belum lancar berbahasa Indonesia, hihiihi. Rumah mereka sangat sederhana, namun terkesan hangat J. Mereka memelihara sapi yang super banget gedenya dan beberapa ekor kambing dibelakang rumah, tepatnya dibelakang dapur. Rumah mereka tepat dibelakang mesjid yang berlatar belakang pemandangan Gunung Kelir, dinamakan seperti itu karena gunung ini mempunyai berbagai jenis warna alami, apalagi jika terkena sinar matahari, rame pokoknya. Tapi pada saat itu yang kontras kelihatan adalah warna hijau tua, hijau muda dan coklat yang saling berganti seperti lapisan-lapisan. Dalam bahasa Jawa, Kelir artinya bisa warna atau pensil warna (benda).
Selanjutkan kami ikut bapak mengambil daun-daunan di ladang untuk memberi makan peliharaannya. Sambil mengobrol ringan dengan bapak, aku berandai-andai gimana kalau aku tinggal disana. Pasti butuh berjuang keras, karena disana kontur tanahnya itu berbukit-bukit dan jauh dari keramaian (terletak di kaki gunung), dan banyak aku lihat orang-orang tua (baca : kakek dan nenek) sedang menggendong kayu bakar atau hasil panen mereka, hah! Aku perkirakan lebih dari 5kg itu mah. Oia disana di kepalai oleh seorang lurah yang masih muda, yang bernama Bpk. Suwignyo (sampe ada yang naksir pula :p). Di desa ini masih memegang erat nilai adat istiadat dan kebudayaan mereka. Jadi butuh sopan santun tingkat tinggi nih J.
Aku akan coba memaparkan secara singkat tentang sejarah desa Wirogomo ini. Kata Wirogomo ini berasal dari penggabungan dua kata, yaitu Wiro yang artinya ksartia raksaksa yang berperangai buruk dengan Gomo yang artinya gadis cantik. Dahulu kala ada seorang ksartia (raksasa) yang perangainya sangat buruk, sampai dia bertemu dengan seorang gadis cantik yang bernama Gomo di tempat ini dan menikah, keturunan merekapun juga mewarisi perangai keduanya, ada yang turunan Wiro ada juga yang turunan Gomo. Para pejabat yang terpilih di desa ini tanpa disadari adalah orang-orang yang memiliki hubungan darah. Tapi mereka harus sangat-sangat berhati-hati dalam menjalankan tugasnya dan harus memiliki hari yang bersih. Jika mereka kedapatan berlaku curang hukuman yang “supranatural” siap menghampiri mereka. Contohnya jika mereka korupsi, tangan yang dipakai untuk mengambil uang bisa patah atau bahkan putus. Serem juga sih ya, coba dipemerintahan bisa kaya gitu, hahaha. Desa yang masih dalam kawasan Pager Gedhok ini juga terkenal akan bibit kuda yang berkualitas super. Penduduk sekitar percaya kalau mereka mengambil bibit kuda dari desa ini kuda-kuda mereka akan tumbuh menjadi kuda yang kuat dan tangguh. Katanya dulu pernah tinggal kuda sembrani di desa ini (kuda seperti Pegasus pada mitologi Yunani) yang menggambarkan kuda bersayap yang dapat terbang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar